Setelah menikah, saya selalu mewanti-wanti istri untuk tidak memamerkan apapun pada teman-temannya. Setiap kali dia foto di dalam mobil misalnya, saya pasti melirik dan memperhatikannya, maksudnya jangan sampai membagikan foto tersebut pada siapapun, termasuk pada keluarga kami. “kalau mau foto ya foto saja, tak perlu ada unsur ‘kemewahan’ di dalamnya, kecuali pemandangan atau tempat wisata.”
Suatu kesempatan istri saya bertanya kenapa saya cukup parno dengan foto-foto barang pribadi? Saya tak menjawab langsung seketika itu. Sekalipun yang kami miliki dalam 8 bulan pernikahan ini hanyalah mobil sederhana, dan itupun masih kredit, tetap saja saya tak mau itu dijadikan objek foto-foto.
Beberapa hari ini kami mendapat sedikit ujian, defisit keuangan. Bukan defisit sih sebenarnya, hanya saja sesuatu yang rencananya akan dibayarkan pada bulan Agustus, harus segera dibayarkan bulan ini. Jadilah keuangan kami cukup berantakan.
Dalam keadaan yang cukup mendesak, kami coba cari pinjaman ke beberapa orang yang dinilai potensial dan punya dana lebih. Ini kami tempuh sebab pengajuan pinjaman ke bank ditolak karena SK dan slip gaji saya tidak cukup kuat untuk dijaminkan, karena nilai kontraknya hanya setahun, serta jumlah pinjaman lebih besar dari total gaji selama setahun.
Istri saya menyerah, beberapa orang kenalan yang dianggapnya cukup kaya, masih punya hubungan keluarga, atau sudah cukup akrab, rupanya tidak berkenan meminjamkan dana. Lebih dari itu, malah dipertanyakan kenapa sampai ada masalah seperti itu? Dinasehati bla bla bla dan seterusnya.
“bukannya dapat pinjaman malah diomelin” kata istri saya. Haha saya ngakak saja. Membiarkan dia menikmati ikhtiar dan menambah amal ibadahnya.
Saya juga coba pinjam ke beberapa orang teman, hanya sekedar coba saja, tidak terlalu berharap benar-benar bakal mendapat pinjaman. Sebab saya sadar bahwa nominal yang saya ajukan terlalu besar untuk sekelas mereka, atau bisa juga karena saya tak terlihat mampu untuk melunasinya. Dan benar, semuanya belum bisa memberikan pinjaman.
Dalam kondisi tertekan, istri saya kebingungan. Mengapa orang-orang yang terlihat cukup mampu, tak sedikitpun memberikan pinjaman? Sedikit saja. Saya paham, bahwa cerita-cerita teman atau orang-orang yang dikenalnya itu selama ini terlihat cukup sejahtera dan seharusnya bisa membantu. Tapi ketika dia datang untuk meminta tolong, mereka malah bersikap seolah-olah tidak pernah kenal.
Dalam kesimpulan saya, hal-hal seperti inilah yang dinamakan beban sosial. Ketika seseorang terlanjur mencitrakan diri atau dicitrakan kaya raya dan sejahtera, tapi tidak mau membantu saat ada yang butuh pertolongan, secara otomatis citra kaya raya dan sejahteranya mendadak dipertanyakan. Dia ini benar-benar kaya apa nggak? Orang kaya kok tidak mau membantu? Dan seterusnya.
Dalam keadaan yang cukup rumit seperti itu, saya diamkan saja. karena menurut teori, lelaki tidak boleh menyela jika perempuan sedang mengutarakan perasaannya. Setidak masuk akal apapun imajinasinya, saya tetap diamkan, menunggu dia selesai.
Setelah selesai, barulah saya naik panggung dan menyapa “sahabat-sahabat saya yang kura.” Haha. Ngggak…nggak. Setelah selesai, saya bilang ke istri, bahwa yang membuat kita kecewa itu sebenarnya bukan karena gagal diberi pinjaman, tapi karena kita terlalu berharap akan mendapatkannya. “Jadi kalau kamu kecewa ya itu salah kamu sendiri. Harusnya dari awal kamu meluruskan niat dan sama sekali tidak berharap terlalu banyak,” kata saya.
Dalam hal mencari pinjaman, atau katakanlah hutang, keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Apakah orang yang potensial itu sedang ada dana? Apakah kamu cukup meyakinkan untuk bisa melunasinya? Apakah kamu punya jaminan? Dan terakhir barulah apakah mereka punya niat untuk membantu.
Jadi sebenarnya saat istri saya kecewa karena gagal mendapat pinjaman, lalu kemudian menyimpulkan sendiri orang yang dikenalnya itu pelit, itu saya luruskan. Sebab bisa jadi, kebetulan mereka juga sedang tidak ada dana lebih atau juga baru saja ada pengeluaran besar. Prasangka baiknya seperti itu.
Jadi sebenarnya saat istri saya kecewa karena gagal mendapat pinjaman, lalu kemudian menyimpulkan sendiri orang yang dikenalnya itu pelit, itu saya luruskan. Sebab bisa jadi, kebetulan mereka juga sedang tidak ada dana lebih atau juga baru saja ada pengeluaran besar. Prasangka baiknya seperti itu.
Dan alhamdulillah, saat sedang tertekan seperti itu, saya akhirnya menemukan alasan mengapa saya melarang istri untuk foto-foto di dalam mobil. Takutnya kami juga terkena beban sosial. Contoh jika ada teman mau pinjam sebesar 500 ribu rupiah misalnya, lalu kami jawab tidak punya uang lebih, orang bisa menyimpulkan kami pelit jika dalam persepsi mereka kami terlihat sejahtera.
Dalam realitas sosial di kehidupan kita sehari-hari, memang ada banyak orang yang bergaya di luar batas kemampuannya. Dengan hadirnya sosial media semacam twitter, facebook, instagram dan sebagainya, bukan saja di luar basa kemampuan, tapi gaya seseorang bisa sangat berbeda dengan kenyataannya. Foto-foto dengan mobil bagus, padahal bukan mobilnya. Foto-foto dengan cewek cantik, padahal bukan ceweknya. Haha sehingga penilaian-penilaian terhadap pribadi seseorang tidak bisa disimpulkan secara mentah atau sederhana.
Sebenarnya, narsis dan pamer adalah hak setiap orang. Hanya saja, yang membuat hubungan sosial kita buruk adalah sikap yang berlebihan. Sehingga orang yang melihat dari luar itu jadi kecewa lahir bathin. Hanya bisa ngiler saat melihat aset mewah yang dipamerkan, tapi juga kecewa karena tidak bisa dimintai pertolongan. Tapi ya itu tidak sepenuhnya kesalahan di pihak orang yang punya dana lebih, karena sering juga orang yang meminjam kalau ditagih malah lebih galak dari yang nagih. haha
Saya pribadi memilih untuk tidak pamer, meskipun ya memang tidak ada yang bisa dipamerkan sebenarnya. Hehe minimal kalau ada orang mau pinjam uang dan saya jawab tidak punya, mereka bisa percaya. Meski memang idealnya saya bisa menolong setiap teman atau kerabat yang membutuhkan. Kalaupun bukan sekarang, ya mungkin nanti… Begitulah kura-kura.
Posting Komentar