Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, bahwa kekalahan Ahok sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu diharapkan. Karena dengan kalahnya Ahok, maka peluang untuk revolusi dan melanjutkan demonstrasi berjilid penuh nomer togel itu kemudian tertutup. Ahok kalah, reda lah tensi politik. Tak ada kegaduhan tuduhan kecurangan dan kedzaliman yang sudah mereka bangun pondasinya sejak awal kampanye “hanya kecurangan yang bisa mengalahkan Anies.”
Fitnah-fitnah sistemik bahwa Presiden Jokowi telah berpihak di Pilkada DKI, berbuat curang, tidak menghormati demokrasi dan seterusnya tidak bisa dijadikan senjata atau alasan untuk turun ke jalan. Akan sangat lucu sekali kalau ada sekelompok orang yang ngotot berdemo bahwa Presiden telah berpihak di Pilgub DKI.
Aktor-aktor politik spesialis tukang rusuh, yang ingin mengulangi kejadian 98 dan berniat untuk segera menguasai negeri ini lewat jalur kilat, karena sudah kebelet, juga tidak punya alasan untuk mengadakan konsulidasi serta aksi-aksi lagi.
Ormas-ormas teroris dan radikal yang mengidam-idamkan Indonesia bisa berubah menjadi khilafah atau negara Islam, juga tak punya alasan untuk membuat kegaduhan. Sebab mereka tak lagi mendapat dukungan politik dari para setan-setan senayan. Sementara mau mengungkit kasus “penista agama” juga akan terlihat konyol. Sebab Ahok sudah diadili dan dituntut dengan hukuman percobaan selama 2 tahun. Hukuman percobaan maksudnya tidak perlu ditahan selama Ahok bisa menunjukkan sikap yang baik dan tidak mengulangi pernyataan yang sama.
Sekalipun nantinya ini menjadi vonis yang sah, ormas-ormas teroris dan radikal itu tak punya alasan yang kuat untuk membodoh-bodohi masyarakat lagi untuk berdemo demi menciptakan kerusuhan dan revolusi.
Tapi, mereka ini benar-benar seperti maling yang tidak putus asa dalam mencari pintu keluar. Terus mencari celah untuk mencuri Indonesia yang damai dan sejahtera ini. Sehingga sekarang muncul arus opini yang begitu besar, bahwa Ahok akan diangkat jadi Menteri Dalam Negeri menggantikan Tjahyo Kumolo. Bahkan begitu lihainya memanfaatkan emosi para pendukung Ahok, yang kemudian membuat isu cerita bahwa nanti jika Ahok menteri, maka yang melantik Anies dan Sandi adalah Ahok.
Lebih dari itu, Sandiaga juga ikut menanggapi “sangat mendukung. Kalau misalnya Pak Basuki diberi kesempatan untuk mengabdi (menjadi Menteri), kami doakan. Pak Basuki sangat layak sebagai Menteri dan kalau sekarang kesempatannya setelah Pilkada, siapapun putra terbaik bangsa akan mengabdi, kami beri dukungan.”
Jangan paksa Ahok jadi Menteri jika tak ingin revolusi
Jujur, melihat tidak adanya sedikitpun bantahan dari para pengamat politik, analis sampai politisi terkait, maka merasa sangat perlu untuk melawan arus opini tersebut, agar nantinya para penulis Seword juga tau agar kita tidak terjebak dalam permainan dan operasi merekaa.
Jadi begini, betapapun kita sepakat bahwa Ahok bagus, bersih, jujur, transparan, dan bisa bekerja. Karyanya sudah dapat dilihat secara kasat mata. Tapi, yang harus kita lihat lebih jelas adalah kenyataan tentang negeri ini.
Di negara kita Indonesia, masih banyak orang yang bisa dimanfaatkan dan dibodoh-bodohi dengan sentimen SARA. China, nonmuslim dan yang paling trend: penista agama.
Ibu Kota Jakarta yang kita kenal sebagai kota paling modern di Indonesia, pada kenyataannya tidak semodern yang kita bayangkan. Sebagus-bagusnya Ahok, sebesar-besarnya infrastruktur, pelayanan dan perubahan birokrasi di bawah kepemimpinan Ahok, betapapun 70 persen rakyat Jakarta merasa puas atas kinerjanya, namun pada akhirnya mereka tidak mau memilih Ahok karena agamanya berbeda.
Rakyat Jakarta takut kalau mati tidak dishalatkan karena memilih Ahok. Rakyat Jakarta takut masuk neraka jika memilih Ahok. Artinya apa? jualan ayat suci di Jakarta masih laku keras. Dan lebih dari itu semua, sebagian besar mereka percaya bahwa Ahok menista agama Islam.
Betapapun kita marasa waras, kita berpikir Ahok tidak salah, Ahok bagus dan seterusnya, pada akhirnya kita semua harus sepakat bahwa Ahok ditolak oleh mayoritas rakyat Jakarta karena alasan agama dan rasnya berbeda.
Kita harus masuk ke dalam pikiran mayoritas rakyat Jakarta, kalau perlu masuk ke dalam alam pikiran Rizieq beserta 7 juta rakyat-rakyat nomer togelnya. Pahami dan selami alam pikiran mereka, semuanya tidak suka Ahok.
Kita harus masuk ke dalam pikiran mayoritas rakyat Jakarta, kalau perlu masuk ke dalam alam pikiran Rizieq beserta 7 juta rakyat-rakyat nomer togelnya. Pahami dan selami alam pikiran mereka, semuanya tidak suka Ahok
Setelah itu mari kita renungkan sejenak. Memaksa Ahok menjadi Menteri Dalam Negeri tujuannya apa? Untuk meningkatkan gengsi karena nantinya Ahok tetap lebih tinggi pangkatnya dari Anies? Atau apa? Silahkan dipikirkan.
Kemudian, coba pikirkan apa dampak positifnya? Misal Ahok jadi Mendagri, dampaknya bagaimana? Apakah akan secara mendadak membuat negeri makmur? Tidak juga. Ahok hanyalah seorang manusia biasa, yang patut kita apresiasi sewajarnya.
Tapi coba bayangkan dampak negatifnya jika Ahok menjadi Mendagri? Mungkin seminggu atau dua minggu setelahnya, rakyat bumi datar itu pasti akan langsung mencari nomer togel untuk memutuskan aksi demo lagi, menuntut Jokowi dilengserkan, revolusi. Karena apa? Karena penista agama diangkat menjadi Menteri. Merusak Indonesia, menyinggung ulama dan seterusnya. bahkan saya sudah bisa membayangkan suara Rizieq yang serak-serak kering karena kebanyakan takbir, entah sama Firza atau yang lainnya.
Oke, sampai di sini ada yang berpikir ini tidak masuk akal? Jika iya, berarti kamu gagal masuk ke alam pikiran Rizieq dan 7 juta masyarakat bumi datar. Coba selami alam pikiran mereka, bukankah yang mereka gaungkan selama ini memang adalah hal-hal yang menurut kita tidak masuk akal? Tapi toh kenyataannya ada banyak rakyat yang terpengaruh dengan isu-isu tidak masuk akal tersebut.
Coba diingat-ingat, PKI bangkit, ada jutaan pengikutnya, masuk akal? Tidak. Masjid menolak shalatkan jenazah pendukung Ahok, masuk akal? Tidak. Ahok dianggap menista ulama, apakah Ahok pernah mengatakan ulama dalam pidatonya? Tidak sama sekali. Ahok mengatakan “jangan mau dibohongi orang pakai ayat Almaidah 51.”
Jadi, bagaimanapun pikiran kita berfungsi normal dan waras, tapi dalam kenyataan demokrasi, yang menang adalah mereka yang lebih banyak jumlahnya. Dan kita sepertinya kalah dalam hal jumlah, atau minimal kita tidak berpikir ingin turun ke jalan dan melakukan sesuatu yang kita anggap tidak ada gunanya.
Untuk itu, saya rasa tidak perlu kita menerima umpan isu dan opini Ahok untuk jadi Menteri di Kabinet Kerja, terlebih sebagai Mendagri. Branding “penista agama” masih melekat dalam diri Ahok, mungkin untuk jangka waktu yang cukup lama.
Biarkanlah Ahok bekerja dengan tenang sampai Oktober 2017 sebagai Gubernur. Setelah itu biarlah dia menikmati hidupnya entah sebagai apa, tak perlu kita dorong-dorong. Kasihan juga Ahok, sejak 2014 sudah didemo oleh FPI, sampai dibuatkan Gubernur tandingan untuk Jakarta.
Biarlah Ahok dikenang seperti Gusdur, yang telah memberikan perubahan pada negeri ini, tapi pada masa hidupnya sempat ditolak oleh mayoritas pemegang kuasa di Indonesia.
Terakhir, sebesar apapun perubahan, hasil kerja dan mahakarya yang sudah dan dapat diberikan Ahok kepada bangsa ini, pada akhirnya tidak akan pernah sebanding dengan kerukunan dan keutuhan NKRI. Untuk itu, kita tidak perlu mempertaruhkan empat pilar kebangsaan: Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD45 dan NKRI.
Memang, kita semua ingin negara ini maju. Kita ingin Indonesia dapat bersaing dengan negara lain. Saya pun sama. Tapi dalam kondisi seperti ini, cobalah lihat ormas-ormas radikal dan teroris, lihatlah politisi busuk yang belum puas dengan kemenangan propaganda SARA nya, lihatlah politisi yang kebelet berkuasa, perhatikan semuanya. Mereka benar-benar sedang dalam posisi sedang mengintai, siap beraksi, menunggu Jokowi mengangkat Ahok jadi Menteri, agar mereka bisa segera laksanakan revolusi
Bagaimanapun negeri ini butuh orang-orang seperit Ahok. Saya dan seluruh penulis di Seword siap mendukung orang-orang yang mampu berkontribusi kepada negara ini. Jangankan untuk jadi Menteri, jadi Presiden pun kami dukung. Tapi itu nanti, setelah kelompok rasional dan mampu berpikir proporsional sudah menjadi mayoritas di Indonesia…….
Posting Komentar