Beberapa teman mungkin banyak yang berpendapat bahwa sudah saatnya pendukung Ahok move on dan menuju ke arah lebih baik. Bukan saatnya lagi menulis artikel atau sekedar comment di media sosial dengan segala hal yang berbau Pilkada DKI. Namun saya berpandangan lain, segala hal di dunia ini selalu butuh evaluasi. Orang yang sedang merintis bisnis pun ketika mengalami kegagalan harus mengevaluasi kinerjanya, orang yang gagal menjadi ranking 1 pun harus mengevaluasi ada masalah apa dengan pola dan rencana belajarnya. Intinya segala hal yang sudah kita lewati dalam sisi kehidupan apapun harus kita evaluasi, agar kita mampu mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana langkah kita selanjutnya. Karena kita sudah mampu mengambil pelajaran dari kisah yang sudah berlalu
Kesempatan kali ini saya masih membahas tentang effect Pilkada Jakarta, Pilkada paling riuh dalam sejarah bangsa Indonesia. Pilkada yang diwarnai dengan segala fitnah, ancaman, intimidasi, permainan identitas serta kecenderungan memaksaan kehendak dengan melakukan gangguan fisik maupun non fisik.
Pilkada Jakarta kemarin merupakan Pilkada yang sangat menarik untuk kita bahas, karena sejarah bangsa sudah mencatat ada beberapa putera bangsa yang saling adu untuk menjadi DKI 1. Namun yang menjadi catatan besar bangsa ini adalah cara perebutan kekuasaan yang dilakukan, sungguh-sungguh terlalu karena keluar dari norma agama, norma masyarakat, etika berpolitik bahkan prinsip dasar bangsa ini yakni toleransi.
Kenapa saya mengatakan seperti itu?
- FPI dengan segala gembongnya secara terbuka mendukung Anies-Sandi, bahkan ketika kemenangan sudah diraih pun Prabowo tanpa sungkan mengucapkan rasa terima kasih kepada Rizieq karena keberaniannya. Namun cara-cara yang digunakan dalam mendukung menurut saya pribadi sudah bukan lagi cara orang yang paham kaidah agama, etika politik, prinsip hukum, aturan Pilkada dan masih banyak lagi. Karena orang yang paham akan nilai itu tidak akan melakukan demo berjilid-jilid yang berpotensi mengganggu kepentingan umum bahkan kepentingan nasional secara umum dalam bidang keamanan, politik bahkan ekonomi. Orang yang paham nilai-nilai di atas secara akal sehat tidak mungkin mengusir sesama muslim atau mengancam tidak menshalatkan jenazah pendukung Ahok. Benar-benar cara bar-bar dari orang-orang yang hidup jauh lebih modern dari kekolotan.
- Bergabungnya Harry Tanoe di gerbong Anies-Sandi menjadi sebuah hal yang paling aneh dalam dunia politik. Benar apa yang dikatakan Iwan Fals bahwa dunia politik itu penuh dengan intrik, sikut sana sikut sini disitu yang asik. Dunia politik punya hukum sendiri dan seterusnya. Saya benar-benar tidak habis pikIr, bagaimana mungkin dalam satu gerbong berteriak-teriak “bunuh si kafir, ganyang china, menolak pemimpin non muslim“ tapi teman dekatnya sendiri memiliki karakter yang sama dengan Ahok. Yakni China dan non muslim. Entah apa yang ada dalam pikiran para pelaku politik praktis ini. Saya percaya bahwa manusia diberikan Tuhan sebuah modal dalam menjalani hidup yakni modal akal sehat serta modal hati nurani. Kira-kira, akal sehat macam apa dan hati yang terbuat dari apa yang mampu melakukan segala kebohongan publik demi kekuasaan?
Saya sangat tertarik menantikan sejarah apa yang akan dibuat oleh bangsa ini. Kita sangat tahu bahwa Harry Tanoe sedang gencar-gencar nya membangun partai Perindo dari bawah. Promosi melalui MNC Group pun setiap hari menghiasi layar televisi nasional. Kita juga sangat tahu bahwa sosok Prabowo Subianto sampai detik ini masih memiliki ambisi untuk menjadi RI 1. Dan ambisi itu tentunya sudah disusun jauh-jauh hari atau paling tidak akan disiapkan dengan matang mulai sekarang pasca kemenangan Anies-Sandi. Belum lagi PKS dengan segala politik praktisnya yang mampu melancarkan segala fitnah-fitnah yang bahkan diluar nalar seorang manusia.
Semua hanya menunggu waktu, dimana Harry Tanoe akan mendapat sebutan kafir dan China. Semua hanya menunggu waktu apakah FPI dan PKS beserta gembongnya berani menolak Harry Tanoe dalam Pemilu tahun 2019. Jika kita mendapati mereka hanya senyap-senyap saja berarti benar bahwa sentimen agama itu hanya sebuah omong kosong yang dipermainkan oleh orang-orang yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.
Sungguh miris, agama Islam yang seharusnya membawa rahmat bagi semesta alam namun dijadikan strategi politik praktis untuk memenuhi syahwat pribadi.
Kita tunggu mereka bermusuhan dengan Harry Tanoe, jika mereka konsisten dengan pola pikir mereka dalam “menafsirkan” Islam sesuai cara pandang mereka. Maka saat-saat itu hanya tinggal menunggu waktu, jika semua itu tidak pernah terjadi maka sudah terbukti bahwa Pilkada Jakarta hanyalah tentang “nafsu kekuasaan”.
Semua hanya menunggu waktu, dimana Harry Tanoe akan mendapat sebutan kafir dan China. Semua hanya menunggu waktu apakah FPI dan PKS beserta gembongnya berani menolak Harry Tanoe dalam Pemilu tahun 2019. Jika kita mendapati mereka hanya senyap-senyap saja berarti benar bahwa sentimen agama itu hanya sebuah omong kosong yang dipermainkan oleh orang-orang yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.
Sungguh miris, agama Islam yang seharusnya membawa rahmat bagi semesta alam namun dijadikan strategi politik praktis untuk memenuhi syahwat pribadi.
Kita tunggu mereka bermusuhan dengan Harry Tanoe, jika mereka konsisten dengan pola pikir mereka dalam “menafsirkan” Islam sesuai cara pandang mereka. Maka saat-saat itu hanya tinggal menunggu waktu, jika semua itu tidak pernah terjadi maka sudah terbukti bahwa Pilkada Jakarta hanyalah tentang “nafsu kekuasaan”.
Posting Komentar